BAMUS BETAWI: Sebuah Catatan Pinggir Menjelang Mubes
BAMUS BETAWI: SEBUAH CATATAN PINGGIR MENJELANG
MUBES
Salam rempug, menjelang
digelarnya perhelatan akbar lima tahunan, yakni Musyawarah Besar (Mubes) pada
tahun ini, suhu politik di tubuh Bamus Betawi semakin meningkat. Hampir semua perhatian
pengurus dan ormas-ormas yang bernaung di dalamnya mengarah dan tersita kepada
Mubes ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila Ketua Majelis Tinggi,
Babeh Eddy, menyebutnya sebagai “tahun politik”.
Sebagai rumah
besar kaum Betawi, Bamus Betawi memberi harapan dan peluang bukan hanya kepada
mereka yang memiliki kepedulian dan concern mendalam terhadap nasib dan masa
depan kaum Betawi dalam segala aspeknya, melainkan juga kepada mereka yang pragmatis
dan oportunis—untuk tidak mengatakan sekadar mencari dan mendapatkan
“sesuatu” di dalamnya.
Berkaitan dengan
Mubes ini, Mereka yang pragmatis dan oportunis lebih awal
memainkan jurus-jurus dewa mabuk, menjaring dan mengikat satu-dua orang yang
dianggap seolah-olah (pseudo) dapat mewakili diri mereka untuk berlaga
dalam suksesi kepemimpinan Bamus Betawi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
selama ini tidak pernah aktif, secara mendadak menjadi begitu bersemangat
menunjukan perannya; berlomba-lomba mencari “pahala” di hadapan orang yang
diusungnya.
Selain itu,
terdapat faktor lain yang bersifat sesaat dan tidak tertulis tapi cukup
dominan, yaitu pemenuhan “gizi” dan “vitamin”. Hal ini mengakibatkan beredarnya
“obligasi” atau surat dukungan dari masing-masing ormas yang kemudian ditukar
dengan “sesuatu” sebagai mahar. Hal ini juga terjadi dalam pembentukan Bamus
Wilayah, yang akan disinggung di belakang.
Ormas-ormas yang
berada di bawah naungan Bamus Betawi, yang dianggap sebagai penentu kemenangan,
mulai kebanjiran rezeki. Prinsip “one man one vote” yang dipakai dalam
pengambilan keputusan manakala musyawarah mufakat tidak bisa tercapai menjadi
alasan utamanya.
Kondisi tersebut
pada gilirannya menjebak kaum Betawi ke dalam demokrasi prosedural dan
mengabaikan esensi. Votting sebagai pilihan terburuk dalam berdemokrasi
menjadi pilihan utama. Musyawarah mufakat yang menjadi esensi dan marwah kaum
Betawi tergadaikan.
Dinamika dan
alur perubahan yang terjadi sekarang ini—sebagaimana uraian di atas—gagap
dipahami oleh sementara senior di Bamus Betawi, terutama yang berada di Majelis
Tingginya. Pola pikir senior yang lebih mengutamakan ketenangan dan kesepakatan
menjadi terganggu oleh kegaduhan yang dikembangkan kelompok pragmatis
dan oportunis tersebut. Apalagi munculnya rumor bahwa ada yang mengklaim
dirinya didukung oleh Pemda.
Oleh karena itu,
muncullah gagasan untuk menggelar pertemuan antara para ulama dan tokoh-tokoh
Betawi yang memanfaatkan momentum milad ke-70 tahun Bang Foke (20/4) di RM.
Aljazeerah Polonia Jakarta Timur. Hasil pertemuan tersebut menyepakati bahwa
mereka akan bersama-sama menegakkan kembali marwah Bamus Betawi yang mulai
dirusak oleh kelompok pragmatis dan oportunis tersebut.
Ormas Di Bawah Naungan Bamus
Jika kita
melihat ke belakang, munculnya kelompok pragmatis dan oportunis tersebut bisa
dikatakan sebagai kegagalan dari pengurus Bamus Betawi sekarang ini memainkan
peran utamanya sebagai motivator bagi para ormas yang berada di bawah
naungannya agar dapat memaksimalkan fungsinya dalam bidang kaderisasi dan
pemberdayaan masyarakat Betawi dalam segala aspeknya, sehingga tidak
berkembang secara sehat. Dana hibah yang digelontorkan Pemda DKI Jakarta
terkesan digunakan di luar dari kedua bidang tersebut.
Selain itu,
kurangnya sosialisasi dan pemahaman terhadap Perda No. 4 Tahun 2015 tentang
Pelestarian Kebudayaan Betawi dan Pergub No. 229 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Pelestarian Kebudayaan Betawi di kalangan ormas-ormas yang
bernaung di bawahnya. Pada akhirnya kepekaan membaca segala peluang yang ada
sebagai akibat dikeluarkannya 2 (dua) peraturan tersebut nyaris tidak tercipta,
bahkan terkesan tidak siap.
Ketidaksiapan
itu menjadikan mereka tetap terkungkung oleh kebiasaan lama, yaitu berharap
dialokasikannya sebagian kecil dari dana hibah itu kepada mereka. Di saat
harapan itu tidak terwujud, sebagian ada yang berusaha bangkit memberdayakan
dirinya secara mandiri, sebagian lainnya mengeluhkan keadaan dengan berkicau di
medsos atau bersikap apatis.
Bamus Wilayah dan Badan Otonom
Menyinggung soal
pembentukan Bamus Betawi di masing-masing wilayah kabupaten dan kotamadya, saya
menganggapnya masih tergesa-gesa tanpa adanya formula yang baku dan definitif,
sehingga wajar bila banyak yang menafsirkan sebagai upaya dari pengurus Bamus
sekarang ini untuk melanggengkan kekuasaannya. Konflik interes pun masih
mewarnai proses pembentukannya, sehingga mengalami banyak kendala.
Idealnya,
pembentukan Bamus Wilayah dimaksudkan untuk mengeliminir banyaknya jumlah ormas
yang bernaung di Bamus Betawi. Sebab tidak sedikit ormas yang hanya memiliki
ruang lingkup setingkat kelurahan tanpa rasa malu minta disejajarkan dengan
ormas yang memiliki basis massa yang kuat di semua kelurahan dan masuk dalam
barisan ormas yang berada dalam naungan Bamus Betawi. Padahal seharusnya mereka
cukup bernaung di bawah kewenangan Bamus Wilayah, kecuali ormas yang sifatnya
tertentu dan spesifik, seperti kelompok ulama, cendekiawan, profesionalisme,
seniman, militer atau praktisi hukum.
Gagasan tersebut
menjadi seiring dan sejalan dengan upaya untuk memperketat proses seleksi dan
verifikasi terhadap ormas yang akan bernaung di dalamnya. Tentunya hal ini
bukanlah pekerjaan mudah, sebab orang-orang yang merasa dirinya “tokoh” akan
melakukan resistensi dan perlawanan yang akan menyita cukup banyak energi.
Namun, bagaimana pun resikonya, pekerjaan tersebut harus dilakukan tanpa bisa
ditunda.
Tambahan lagi,
penunjukan fungsionaris koperasi juga tidak disertai dengan itikad untuk
memajukan perekonomian masyarakat Betawi melalui peningkatan UMKM, sehingga
hanya menjadi jabatan untuk gagah-gagahan. Selain itu, LBH Bamus Betawi juga
bisa dikatakan mati suri tidak mampu memaksimalkan peran dan fungsinya sebagai
perwakilan masyarakat Betawi dalam proses penyadaran dan penegakan hukum.
Soal Majelis Tinggi
Majelis Tinggi
sebagai produk Mubes Bamus Betawi tahun 2013 muncul dari sebuah kesadaran
perlunya Bamus Betawi mempunyai institusi “ahlul halli wal aqdi”
(orang-orang yang berwenang untuk melepas dan mengikat), yaitu institusi yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan secara langsung Ketua Umum Bamus
Betawi. Adapun orang-orang yang duduk di dalamnya dipilih dengan kriteria yang
ketat.
Sejatinya
orang-orang yang berada dalam Majelis Tinggi atau bila dirubah menjadi Majelis
Tertinggi Adat Bamus Betawi tidak selalu bongkar pasang mengikuti ritme Mubes
Bamus Betawi. Mereka bersifat permanen, dan hanya bisa digantikan bila salah
satu dari mereka mengundurkan diri, meninggal dunia, dan atau tidak lagi
mengindahkan kepentingan kaum Betawi.
Alasan utamanya
adalah karena institusi “ahlul halli wal aqdi” adalah konsep
Islam, maka sudah sewajarnya bila kaum Betawi yang mengaku Islam sebagai
agamanya mempraktekan konsep tersebut dalam roda organisasinya. Dengan begitu,
Mubes tidak lagi harus diselenggarakan dengan hiruk pikuk, kegaduhan atau
goreng menggoreng yang nyaris menyita seluruh energi dan sumber daya yang ada,
tapi cukup dengan penuh kesederhanaan dan khidmat untuk mendengar dan
memutuskan, baik menerima atau menolak, laporan pertanggungjawaban pengurus
Bamus; serta untuk mendengar dan melaksanakan keputusan Majelis Tinggi tentang
kepengurusan Bamus untuk periode selanjutnya.
Justru yang
harus dibuat meriah dan semarak adalah pengangkatan pengurus Bamus—sebagai yang
akan mewakili kaum Betawi dalam bidang kaderisasi dan pemberdayaan masyarakat
Betawi; dan yang dapat menjalin sinergi dan kerjasama dengan pemerintah, TNI
dan Polri serta elemen masyarakat lainnya dalam bingkai NKRI atas nama kaum
Betawi.
Mungkin banyak
yang akan nyinyir dengan pandangan saya terhadap Majelis Tinggi yang terkesan
subjektif, sebab saya adalah bagian di dalamnya. Terlepas dari semua itu, saya
hanya sekadar memberi sedikit catatan pinggir sebelum pagelaran Mubes
dilangsungkan, dan sebagai empati atas harapan para senior Bamus Betawi.
Wassalam.
Jakarta, 22 April 2018
ImamFBRBamus Betawi |
Comments
Post a Comment