MEMAKNAI AHLUL HALLI WAL AQDI DALAM MUBES BAMUS BETAWI

Salam rempug, adalah Imam al-Mawardi yang memperkenalkan istilah dan konsep “Ahlul Halli wal Aqdi” dalam kitab “al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyyah” sebagai solusi dalam menentukan kepemimpinan umat. Istilah tersebut mulai populer pada saat terjadinya Muktamar ke 33 Nahdhatul Ulama (NU) di Jombang Jawa Timur. Konsep Ahlul Halli wal Aqdi digunakan NU saat mulai maraknya politik uang untuk jual beli suara dalam permusyawaratannya di berbagai tingkatan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan moral.

Situasi yang pernah dialami oleh NU itu, kini kurang lebih dirasakan sama oleh Bamus Betawi menjelang digelarnya Musyawarah Besar ke VII pada tahun 2018 ini. Politik uang untuk menjual suara mulai marak, dan hal ini dapat mengakibatkan runtuhnya marwah Bamus Betawi.

Tulisan singkat ini, mencoba mengupas secara ringkas soal Ahlul Halli wal Aqdi dalam kaitannya dengan suksesi kepemimpinan di tubuh Bamus Betawi. Dengan harapan, kita memiliki wawasan atau visi yang sama bagaimana membawa perahu Bamus Betawi ke depan mengarungi bahtera kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan adat dan kultur Betawi ansich.

Pengertian Ahlul Halli wal Aqdi

Supaya tidak terjadi kerancuan istilah, ada baiknya jika dikemukakan terlebih dahulu pengertian “Ahlul Halli wal Aqdi”, yang biasa disingkat AHWA, yang dimaksud dalam tulisan ini. Menurut  bahasa, istilah Ahlul Halli wal Aqdi terdiri atas tiga kata utama, yakni ahlu, halli, dan aqdi. Kata pertama, ahlu berarti orang yang berhak atau memiliki. Kata kedua, halli berarti pelepasan, penyesuaian, pemecahan, sedangkan yang terakhir, aqdi berarti pengikatan atau pembentukan. Sedangkan menurut ulama Fiqh, Ahlul Halli wal Aqdi diartikan sebagai orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka dalam memilih dan mengangkat pemimpin secara langsung.

Ahlul Halli wal Aqdi merupakan pengejawantahan dari perintah al-Qur’an dalam ayat, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruanTuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (QS. As-Syura: 38) dan  ayat, “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159). Kedua ayat tersebut merupakan landasan bagi umat di dalam meyelesaikan permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama, yakni perintah bermusyawarah.

Perlu diingat bahwa musyawarah tidak mungkin dilakukan antara seluruh individu umat, dan hanya bisa dilakukan oleh satu kelompok orang yang mewakili umat, di mana pendapat mereka dianggap sama dengan pendapat keseluruhan individu umat, karena mereka memahami tentang kemaslahat umum. Oleh karena itu, dirasa perlu adanya institusi Ahlul Halli wal Aqdi. Apalagi bila mengingat banyaknya permasalahan umat yang harus diputuskan secara bijak dengan pandangan yang tajam, sehingga mampu menciptakan kemaslahatan bersama.

Dengan demikian, bisa dilihat bahwa meski kekuasaan (kedaulatan) ada di tangan umat, tapi dalam penyelenggaraannya sepenuhnya dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi ini. Wewenang Ahlul Halli wal Aqdi bukan hanya sebatas memilih atau mengangkat pemimpin, melainkan juga melakukan pengawasan terhadap pemimpin itu agar menjalankan amanah dengan semestinya, dan melakukan teguran atau bahkan pemecatan bila terjadi pelanggaran-pelanggaran atau mengkhianati amanah.

Mubes Bamus Betawi

Musyawarah Besar Bamus Betawi, selanjutnya disebut Mubes, merupakan potret demokrasi masyarakat Betawi di dalam menentukan pemimpinnya yang akan bertugas bukan hanya di dalam menjaga dan mengembangkan adat-budaya Betawi, melainkan juga melakukan kaderisasi dan pemberdayaan masyarakat Betawi di segala aspek kehidupannya, sehingga mampu berdiri sejajar dengan masyarakat lainnya. Sebagai masyarakat yang mayoritas Islam, untuk tidak mengatakan seluruhnya, beragama Islam, maka sudah seharusnya Mubes itu lebih mengedepankan musyawarah mufakat di dalam pengambilan keputusannya. Alasannya adalah Musyawarah (rempug) bukan hanya merupakan ajaran Islam, melainkan juga sudah menjadi adat atau kultur (kebiasaan) masyarakat Betawi secara turun temurun. Pepatah lama mengatakan, “anak mati, nangis serumah, adat mati nangis sekampung” menunjukan betapa pentingnya adat bagi masyarakat untuk menjaga keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan mereka.

Jadi, esensi demokrasi dalam wajah ke-Betawi-an kita adalah musyawarah, yang dengannya segala keputusan diambil secara mufakat dan kekeluargaan, sehingga mengikat semua pihak yang terkait di dalamnya. Berbeda dengan demokrasi sekuler, di mana keputusan yang diambil bukannya hasil mufakat, tapi penetapan atas pihak yang diakui sebagai pemenang dalam suatu pemilihan.

Menyadari bahwa musyararah tidak dapat menyertakan partisipasi seluruh ormas yang yang bernaung di dalam Bamus Betawi, tapi dengan hanya mencukupkan lewat beberapa orang yang dianggap cakap dan kompeten mewakili keseluruhannya, maka pada Mubes ke-VI tahun 2013 di Pondok Gede Jakarta disepakati bersama terbentuknya Majelis Tinggi Bamus Betawi, di mana salah satu wewenangnya adalah mengangkat dan memberhentikan Ketua Umum Bamus Betawi. Dalam kaidah Ushul, keputusan tersebut di dasarkan pada Masalihul Mursalah, yakni demi kemaslahatan bersama.

Dalam Mubes tersebut, tanpa disadari sebenarnya Bamus Betawi telah mengalami  kemajuan yang sangat signifikan dalam kedewasaan berdemokrasi, yakni lebih menyentuh esensi dan sesuai dengan adat atau kultur masyarakat Betawi.  Konsepsi Ahlul Halli wal Aqdi bukan hanya dikejawantahkan, tapi juga dilembagakan secara definitif dan permanen dengan nama Majelis Tinggi. Terbukti keberadaannya, mampu mencairkan dua kutub yang saling bersebrangan.

Bamus Betawi bukan sekadar organisasi biasa, melainkan sebagai “qiyadah ‘addah”, yakni acuan adat dan kultur bagi masyarakat Betawi—sebagaimana dipahami tersirat dalam Perda Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Oleh karena itu, jabatan Majelis Tinggi  merupakan jabatan “shohibul maqom”—dalam artian tidak bisa diduduki kecuali orang-orang yang diakui telah mencapai maqom yang sesuai, di mana di dalamnya terkandung kriteria “Faqih” (memiliki penguasaan mendalam atau mumpuni dalam masalah adat dan kultur ke-Betawi-an) dan “Mutawarri” (terjaga martabatnya dari segi akhlak dan keadaannya yang tidak pantas, termasuk keterlibatannya yang terlampau vulgar dengan mengatasnamakan Bamus Betawi dalam politik praktis).   

Dengan ketatnya kriteria tersebut, maka diharapkan  Kehadiran Majelis Tinggi ini dapat mengantisipasi dan menyumbat intervensi dari luar serta upaya-upaya kotor dan permisif (serba boleh) yang menjadi ekses demokrasi sekuler dalam suksesi kepemimpinan. Sebab orang-orang yang berada di dalamnya akan bersungguh-sungguh menjaga marwah Bamus Betawi.

Sebagai penjaga marwah Bamus Betawi, maka orang-orang yang menempati posisi Majelis Tinggi tidak bisa diganti secara periodik (lima tahun sekali), kecuali meninggal dunia, mengundurkan diri, sakit permanen, dan atau merusak marwah Betawi itu sendiri. Jumlahnya harus terbatas untuk mengefesiensi personalia dan kinerja mereka. Sedangkan untuk pimpinannya, dipilih di antara mereka sendiri berdasarkan kesepakatan bersama.

Jadi, cukup beralasan bila kewenangan memilih dan memberhentikan Ketua Umum Bamus Betawi secara langsung diserahkan sepenuhnya kepada Majelis Tinggi, dengan tetap memperhatikan aspirasi dan konstelasi yang berkembang di bawah. Selain itu, Majelis Tinggi juga berwenang melakukan pengawasan atas kinerja Ketua Umum Bamus Betawi, sehingga tidak keluar dari koridor ke-Betawi-an atau menyelewengkan amanah yang diberikan kepadanya.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, seberapa jauh kewenangan Mubes sebagai pemegang kekuasaan tertinggi? Mubes tetap memegang peranan penting dan strategis untuk menghasilkan berbagai macam arah dan kebijakan Bamus Betawi, bahkan menjadi lebih fokus, tanpa lagi disibukan oleh dukung-mendukung calon Ketua Umum Bamus Betawi—yang dapat menimbulkan terjadinya perkubuan. Selain itu, juga untuk mendengarkan laporan pertanggung jawaban Ketua Umum yang akan demisioner, memberi tanggapan dan menilai untuk selanjutnya memutuskan menerima atau menolak laporan tersebut.

Oleh karena itu, ormas-ormas yang bernaung di Bamus Betawi tidak perlu takut kehilangan peran dan partisipasinya dalam Mubes. Bamus Betawi selamanya akan tetap menjadi wadah aspirasi dan perjuangan bagi mereka—sebagai yang mewakili masyarakat Betawi. Wallahu a’lam!!!

Jakarta, 30 April 2018

Satu untuk Semua, Semua untuk Satu

Comments

Popular

NILAI IDENTITAS KEREMPUGAN (NIK) FORUM BETAWI REMPUG (FBR)

PAKAIAN KEREMPUGAN

MUTIARA KEREMPUGAN