BAMUS BETAWI TERANCAM PECAH?
Judul di atas merupakan issu yang sedang digulirkan terkait terjadinya polemik tentang pelaksanaan Mubes ke VII Bamus Betawi. Padahal issu tersebut boleh dibilang tidak mendasar, sebab sampai dengan tulisan ini dibuat Bamus Betawi masih tetap solid dan kompak serta imamah dengan Majelis Tingginya.
Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa menjelang terjadinya suksesi kepemimpinan atau Mubes itu, Bamus Betawi sedang mengalami kemarau etika. Padahal, etika inilah yang menghubungkan hukum (AD/ART dan Produk Keputusan lainnya) dengan ideal kehidupan sosial masyarakat Betawi, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti dikatakan oleh orang bijak bahwa etika adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan dan perilaku publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.
Berita bahwa Bamus Betawi terancam pecah merupakan ekspresi ketidakpatutan etis yang melanda ruang publik kita. Hal ini mengindikasikan meluasnya fenomena “buta moral” (moral iliteracy) yang melanda sebagian elit Bamus Betawi. Sebab Bamus Betawi adalah lembaga atau organisasi adat bukan sekadar ormas biasa.
Buta moral itu terlihat dari kekacauan sistem makna, sebagai inti budaya, dalam wacana publik. Hal itu terlihat dari bahasa dominan yang kerap beredar di ruang publik setiap menjelang Mubes: bahasa politik dan bahasa ekonomi.
Bahasa politik dan ekonomi kita hanya mengenal satu bahasa: "menang-kalah". Hampir tak dikenal bahasa budaya yang mempertanyakan “apa yang benar?”
Rendahnya tingkat melek moral inilah yang membuat orang-orang menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan. Marwah Betawi disalahgunakan. Tak jarang sementara orang berlomba mengkhianati sesama dan menganggap orang tua “ngawur”.
Kita sudah menyaksikan bagaimana AD/ART terus ditambah pasal-pasalnya dan berbilang Peraturan terus diproduksi, namun sekadar untuk dilanggar. AD/ART dan Peraturan lainnya tak dapat berdiri tegak tanpa basis moral yang kuat.
Pada akar tunjang krisis kehidupan Bamus Betawi saat ini terletak krisis etika. Pemulihan krisis harus dimulai dari gerakan “keutamaan budi” (adabul insan), dalam "persekutuan kebajikan" (babul minan) yang didasari oleh semangat ketauhidan (sifat duapuluh) Itulah khitah sejarah kehidupan masyarakat Betawi. Wallahu a’lam!!!
Comments
Post a Comment